Monday 12 December 2016

Hukum Forex Mui

Dulú se levantó y se levantó en un empujón. Tapi setelah baca daribeberapa sumber seperti foro forex dan blog sperti ini memang cukup membantu jadi membuat saya tau apakah comercio di forex itu halal atau tidak. Untuk trading pun juga saya sendiri menggunakan akun intercambio libre dari OctaFx. Katanya yang bikin haram itu karena intercambiar ini juga. Dan saya sendiri juga nggak tau intercambiar ini dihitung dari mana, berdasarkan apa. Mudah-mudah sukses dalam bertrading dan semakin yakin que paham tentang forex. Dengue yang ditawarkan OctaFX terutama pada akun Micro yang saya gunakan memang terdapat fasilitas intercambio libre, hal ini semakin palabra de la ley y la ley de dalam menjalankan kegiatan comercio yang saya lakukan. OctaFX benar-benar memberikan pelayanan dan fasilitas yang memberikan kenyamanan dan keleluasaan dalam negociar terutama bagi musulmanes yang harus mengikuti aturan-aturan yang dibenarkan dalam hal fiqih muamalah. Hukum Comercio Forex Menurut MUI Halal atau Haram Hukum Comercio Forex Menurut MUI Halal atau Haram Mengingat banyaknya yang El comercio de forex menurutIslam (meski sudah banyak dikupas) maka berikut ini saya publicar articulo dari Gainscope tentang FATWA MUI TENTANG TRADING FOREX. Di luar sana berkembang juga pendapat yang bersebarangan dengan fatwa MUI ini di mana mereka tetap berpendirian pada bahwa comercio forex adalah HARAM dengan hujjah / argumen yang mereka pegangi. Keputusan berpulang pada dan ada de tangan Anda. Selamat membaca. 1. Apakah Trading Forex Haram 2. Apakah Trading Forex Halal 3. Apakah Trading Forex diperbolehkan dalam Agama Islam 4. Apakah SWAP itu Mari kita (AL-SHARF) Bahas dengan artikel yang pertama: Forex Dalam Hukum Islam Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhan / komoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan pena de permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGANO NILAI MATA UANG antar negara. Perbandingan nilai mata uang antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang bersifat internasional dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara dengan negara lainnya ini berubah (berluktuasi) setiap saat sesuai volumen permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan dan penawil inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai. HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS 1. Ada Ijab-Qobul. --- gt Ada perjanjian untuk memberi dan menerima El peny del menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai. Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan. Pembeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan tindakantindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat) 2. Memenuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli yaitu: Suci barangnya (bukan najis) Dapat dimanfaatkan Dapat diserahterimakan Jelas barang dan harganya Dijual (dibeli) oleh pemiliknya sendiri Atau kuasanya atas izin pemiliknya Barang sudah berada diceangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan. Perlu ditambahkan pendapat Muhammad Isa, bahwa jual beli salam itu diperbolehkan dalam agama. Jangan kamu membeli ikan dalam el aire, karena sesungguhnya jual beli yang demikian itu mengandung penipuan. (Hadis Ahmad bin Hambal dan Al Baihaqi dari Ibnu Masud) Jual beli barang yang tidak di tempat transaksi diperbolehkan dengan syarat harus diterangkán sifatsifatnya atau ciri-cirinya. Kemudiano jika barang sesuai dengan keterangán penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunya hak khiyar, artinya boleh meneruskán atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah: 8220Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya. Jual beli hasil tanam yang masih terpendam, seperti ketela, kentang, bawang dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena akan mengalami kesulitan atau kerugian jika harus mengeluarkan semu hasil tanaman yang terpendam untuk dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam: 8220Kesulitan itu menarik kemudahan.8221 Demikiano juga jual beli barang-barang yang telah terbungkus / tertutup, seperti makanan kalengan, LPG, sebagainya dan, asalkam diberi etiqueta yang menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. Cit. Hal 135. Mengenai teks kaidah hukum Islam tersebut di atas, vide Al Suyuthi, Al-Asbah al-Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55. JUAL BELI VALUTA QUE ASA DAN SAHAM Yang dimaksud dengan el valor adalah mata uang luar negeri seperi dolar Amerika, libra esterlina Inggris, ringgit Malasia dan sebagainya. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional maka tiap negara membutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar negeri yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya eksportir Indonesia akan memperoleh idee dari hasil ekspornya, sebaliknya importir Indonesia memerlukan devisa untuk mengimpor dari luar negeri. Dengan demikian akan timbul península perminataan di bursa valuta asing. Setiap, negara, berwenang, penuh, menetapkan, kurs, ugna, masing-masing (kurs adalah, perbandingan, nilai, uangnya, terhadap, mata uang asing) Misalnya 1 dolar Amerika Rp. 12.000. Namun kurs uang atau perbandingan nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah, tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing. Pencatatan kurs uang dan transaksi jual beli valuta asing diselenggarakan de Bursa Valuta Asing (AWJ Tupanno, et al., Ekonomi dan Koperasi, Yakarta, Depdikbud 1982, hal 76-77) FATWA MUI TENTANG PERDAGANGAN VALAS Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 28 / DSN-MUI / III / 2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf) a. Bahwa dalam sejumlah kegiatan untuk memenuhi berbagai keperluan, seringkali diperlukan transaksi jual-beli mata uang (al-sharf), baik antar mata uang sejenis malpun antar mata uang berlainan jenis. segundo. Bahwa dalam urf tijari (tradición perdagangan) transaksi jual beli mata uang dikenal beberapa bentuk transaksi yang estado hukumnya dalam pandangan ajaran islam berbeda antara satu bentuk dengan bentuk lain. do. Bahwa agar kegiatan transaksi tersebut, dilakukan, sesuai, dengan, ajaran, islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang al-Sharf untuk dijadikan pedoman. 1. Firman Allah, QS. Al-Baqarah2: 275:. Dan Allah (en español) tela tela tela tela................ 2. Hadis nabi riwayat al-Baihaqi dan ibnu Majah dari Abu Said al-Khudri: Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak) (Albaidah de Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban). 3. Hadis Nabi Riwayat Musulmán, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibn Majah, dengan teks musulmanes dari Ubadah bin Shamit, Nabi vio bersabda: (Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma Dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. 4. Hadis Nabi riwayat musulmanes, Tirmidzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dari Umar bin Khattab, Nabi vio bersabda: (Jual-beli) emas dengan perak adalah Riba kecuali (dilakukan) secara tunai. 5. Hadis Nabi riwayat musulmán dari Abu Said al-Khudri, Nabi vio bersabda: Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagiano atas sebagian yang lain janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagaian Atas sebagian yang lain dan janganlah menjual emas perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai. 6. Hadis Nabi riwayat musulmanes dari Bara bin Azib dan Zaid bin Arqam. Rasulullah vio melarang menjual perak dengan emas secara piutang (tidak tunai). 7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi de Amr bin Auf: Perjanjian dapat dilakukan de antara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum muslim terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. 8. Ijma. Ulama sepakat (ijma) bahwa akad al-sharf disyariatkan dengan syarat-syarat tertentu 1. Surat dari pimpinah Unidad Usaha Syariah Banco BNI no. UUS / 2/878 2. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional pada Hari Kamis, tanggal 14 Muharram 1423H / 28 Mar. 2002. Dewan Syariah Nasional Menetapkan. FATWA TENTANG JUAL BELÍ MATA UANG (AL-SHARF). Pertama. Ketentuan Umum Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengue ketentuan sebagai berikut: 1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan). 2. Ada kebutuhan transakta atau untuk berjaga-jaga (simpanan). 3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama en secara tunai (at-taqabudh). 4. Apabila berlainan jenis maka, harus, dilakukan, dengan, nilai, tukar (kurs), yang, berlaku, pata, sa, transaksi, secara, tunai. Kedua. Jenis-jenis transaksi Valuación Asing 1. Transaksi SPOT, yayu transaksi pembélian dan penjualan valuta asing untuk penyeraan pada saat itu (sobre el mostrador) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional. 2. Transaksi HACIA ADELANTE, el transaksi pembelian de los yanuts de los penjualan del yang de los yang de los yang del nilainya del danta de la nube del ditetapkan del pata de la soda de la mariposa del antara 2x24 del diberlakukan y del diberlakukan de la novedad. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwaadah) dan penyerahannya dilakukan de kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk adelante acuerdo untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil Hajah) 3. Transaksi SWAP yetu suatu kontrak pembeliano atau penjualan valas dengan harga punto yang dikombinasikan dengan pembélian antara penjualan valas yang sama dengan harga adelante. Hukumnya haram, karena mengandung unsur másir (spekulasi). 4. Transaksi OPCION YAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA Hukumnya haram, karena mengandung unsur másir (spekulasi). Ketiga. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengue ketentuan jika de kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di. Jakarta Tanggal. 14 Muharram 1423 H / 28 Maret 2002 M DEWAN SYARIAH NASIONAL - MAJELIS ULAMA INDONESIA Tulisan lain yang menguatkan adalah sebagaimana ditulis oleh Dr. Mohammed Obaidullah de bawah ini tentang ISLAMIC FOREX TRADING. 1. Los Contratos Básicos de Cambio Existe un consenso general entre los juristas islámicos sobre la opinión de que las monedas de diferentes países pueden ser intercambiadas sobre una base spot a una tasa diferente de la unidad, ya que las monedas de diferentes países son entidades distintas con diferentes valores o valor intrínseco , Y el poder adquisitivo. También parece haber un acuerdo general entre la mayoría de los estudiosos sobre la opinión de que el intercambio de divisas a plazo no es permisible, es decir, cuando los derechos y obligaciones de ambas partes se refieren a una fecha futura. Sin embargo, existe una considerable diferencia de opinión entre los juristas cuando los derechos de cualquiera de las partes, que son iguales a las obligaciones de la contraparte, se aplazan a una fecha futura. Para elaborar, consideremos el ejemplo de dos individuos A y B que pertenecen a dos países diferentes, India y Estados Unidos respectivamente. A tiene la intención de vender rupias indias y comprar dólares estadounidenses. Lo contrario es cierto para B. El tipo de cambio rupia-dólar acordado es 1:20 y la transacción implica la compra y venta de 50. La primera situación es que A hace un pago al contado de Rs1000 a B y acepta el pago de 50 de B. La transacción se liquida sobre una base spot desde ambos extremos. Tales transacciones son válidas e islámicamente admisibles. No hay dos opiniones sobre el mismo. La segunda posibilidad es que la liquidación de la transacción de ambos extremos se difiera a una fecha futura, digamos después de seis meses a partir de ahora. Esto implica que tanto A como B harán y aceptarán el pago de Rs1000 o 50, según sea el caso, después de seis meses. La opinión predominante es que tal contrato no es islámicamente permisible. Una opinión minoritaria la considera admisible. El tercer escenario es que la transacción está parcialmente liquidada desde un solo extremo. Por ejemplo, A hace un pago de Rs1000 ahora a B en lugar de una promesa de B para pagar 50 a él después de seis meses. Alternativamente, A acepta 50 ahora de B y promete pagar Rs1000 a él después de seis meses. Existen opiniones diametralmente opuestas sobre la admisibilidad de tales contratos que equivalen a bai-salam en monedas. El propósito de este trabajo es presentar un análisis exhaustivo de varios argumentos en apoyo y en contra de la permisibilidad de estos contratos básicos que involucran monedas. La primera forma de contratación que implica el intercambio de contravalores sobre una base de punto es más allá de cualquier tipo de controversia. La admisibilidad o no del segundo tipo de contrato en el que se remite la entrega de uno de los contravalores a una fecha futura se discute generalmente en el marco de la prohibición riba. En consecuencia, discutimos este contrato detalladamente en la sección 2 que trata de la cuestión de la prohibición de riba. La admisibilidad de la tercera forma de contrato en la cual la entrega de ambos contravalores es diferida, se discute generalmente en el marco de la reducción del riesgo y la incertidumbre o gharar involucrados en tales contratos. Este es, por lo tanto, el tema central de la sección 3 que trata de la cuestión de gharar. Sección 4 intentos de una visión holística de la Sharia se refiere a cuestiones como también la importancia económica de las formas básicas de contratación en el mercado de divisas. 2. La cuestión de la prohibición de Riba La divergencia de puntos de vista1 sobre la permisibilidad o no de los contratos de cambio en monedas puede atribuirse principalmente a la cuestión de la prohibición riba. La necesidad de eliminar riba en todas las formas de contratos de cambio es de suma importancia. Riba en su contexto sharia se define generalmente2 como una ganancia ilegal derivada de la desigualdad cuantitativa de los contravalores en cualquier transacción que pretenda efectuar el intercambio de dos o más especies (anwa), que pertenecen al mismo género (jins) y se rigen por La misma causa eficiente (illa). Riba se clasifica generalmente en riba al-fadl (exceso) y riba al-nasia (aplazamiento) que denotan una ventaja ilegal por exceso o aplazamiento respectivamente. La prohibición del primero se alcanza mediante una estipulación de que el tipo de cambio entre los objetos es unidad y ninguna ganancia es permisible a ninguna de las partes. Este último tipo de riba se prohíbe al no permitir la liquidación diferida y asegurarse de que la transacción sea liquidada in situ por ambas partes. Otra forma de riba se denomina riba al-jahiliyya o riba pre-islámica que surge cuando el prestamista pide al prestatario en la fecha de vencimiento si este último liquidará la deuda o aumentará la misma. El aumento se acompaña de cobrar intereses sobre la cantidad inicialmente prestada. La prohibición de riba en el intercambio de monedas que pertenecen a diferentes países requiere un proceso de analogía (qiyas). Y en cualquier ejercicio de analogía (qiyas), la causa eficiente (illa) desempeña un papel extremadamente importante. Es una causa eficiente común (illa), que conecta el objeto de la analogía con su sujeto, en el ejercicio del razonamiento analógico. La causa eficiente apropiada (illa) en caso de contratos de intercambio ha sido variadamente definida por las principales escuelas de Fiqh. Esta diferencia se refleja en el razonamiento análogo para las monedas de papel pertenecientes a diferentes países. Una cuestión de considerable importancia en el proceso del razonamiento análogo se relaciona con la comparación entre monedas de papel con oro y plata. En los primeros días del Islam, el oro y la plata cumplían todas las funciones del dinero (thaman). Las monedas se hicieron de oro y plata con un valor intrínseco conocido (cuánto de oro o plata contenido en ellos). Estas monedas se describen como thaman haqiqi, o naqdain en la literatura Fiqh. Estos eran universalmente aceptables como principal medio de intercambio, lo que representa una gran parte de las transacciones. Muchas otras mercancías, tales como varios metales inferiores, también sirvieron como medio de intercambio, pero con aceptabilidad limitada. Estos son descritos como fals en la literatura Fiqh. Estos también se conocen como thaman istalahi debido al hecho de que su aceptabilidad no se deriva de su valor intrínseco, sino debido al estatus concedido por la sociedad durante un período de tiempo particular. Las anteriores dos formas de monedas han sido tratadas de manera muy diferente por los primeros juristas islámicos desde el punto de vista de la admisibilidad de los contratos que los implican. La cuestión que debe resolverse es si las monedas de papel de la presente era de la categoría anterior o de la segunda. Un punto de vista es que estos deben ser tratados a la par con thaman haqiqi o oro y plata, ya que estos sirven como el principal medio de intercambio y unidad de cuenta como este último. Por lo tanto, por razonamiento análogo, todas las normas relacionadas con la Sharia y los mandamientos aplicables a thaman haqiqi también deben aplicarse al papel moneda. El intercambio de thaman haqiqi se conoce como bai-sarf, y por lo tanto, las transacciones en monedas de papel deben ser gobernadas por las reglas de Sharia relevantes para bai-sarf. La opinión contraria sostiene que las monedas de papel deben ser tratadas de manera similar a fals o thaman istalahi debido al hecho de que su valor nominal es diferente de su valor intrínseco. Su aceptabilidad se deriva de su estatus legal dentro del país nacional o de su importancia económica global (como en el caso de dólares de los Estados Unidos, por ejemplo). 2.1. Una síntesis de puntos de vista alternativos 2.1.1. Razonamiento analógico (Qiyas) para la prohibición de Riba La prohibición de la riba se basa en la tradición de que el santo profeta (la paz sea con él) dijo: Vender oro para el oro, plata para la plata, trigo para el trigo, cebada para la cebada, Sal para la sal, en las mismas cantidades en el lugar y cuando las mercancías son diferentes, vender como le convenga, pero en el acto. Por lo tanto, la prohibición de la riba se aplica principalmente a los dos metales preciosos (oro y plata) y cuatro otras mercancías (trigo, cebada, dátiles y sal). También se aplica, por analogía (qiyas) a todas las especies que son gobernadas por la misma causa eficiente (illa) o que pertenecen a cualquiera de los géneros de los seis objetos citados en la tradición. Sin embargo, no hay un acuerdo general entre las diversas escuelas de Fiqh e incluso los académicos pertenecientes a la misma escuela en la definición e identificación de causa eficiente (illa) de riba. Para los Hanafis, la causa eficiente (illa) de riba tiene dos dimensiones: los artículos intercambiados pertenecen al mismo género (jins), estos poseen peso (wazan) o mensurabilidad (kiliyya). Si en un intercambio dado, ambos elementos de causa eficiente (illa) están presentes, es decir, los contravalores intercambiados pertenecen al mismo género (jins) y son todos pesables o todos medibles, entonces ninguna ganancia es permisible (el tipo de cambio debe Ser igual a la unidad) y el intercambio debe ser sobre una base de punto. En el caso del oro y la plata, los dos elementos de la causa eficiente (illa) son: unidad de género (jins) y peso. Ésta es también la opinión de Hanbali según una versión3. (Una versión diferente es similar a la vista de Shafii y Maliki, como se discute más adelante). Así, cuando el oro se cambia por oro, o la plata se intercambia por plata, sólo las transacciones al contado sin ninguna ganancia son permisibles. También es posible que en un intercambio dado, uno de los dos elementos de la causa eficiente (illa) esté presente y el otro esté ausente. Por ejemplo, si los artículos intercambiados son todos pesables o mensurables, pero pertenecen a géneros diferentes (jins) o, si los artículos intercambiados pertenecen al mismo género (jins) pero ninguno es pesable ni mensurable, intercambie con ganancia (a una tasa diferente de Unidad) es permisible, pero el intercambio debe estar en una base del punto. Por lo tanto, cuando el oro se intercambia por la plata, la tasa puede ser diferente de la unidad, pero no se permite el establecimiento diferido. Si ninguno de los dos elementos de causa eficiente (illa) de riba está presente en un intercambio dado, entonces ninguno de los mandatos para la prohibición riba se aplica. El canje puede tener lugar con o sin ganancia y ambos en un lugar o diferido. Considerando el caso de intercambio de monedas de papel pertenecientes a diferentes países, la prohibición riba requeriría una búsqueda de causa eficiente (illa). Las monedas pertenecientes a diferentes países son entidades claramente diferenciadas que son moneda de curso legal dentro de límites geográficos específicos con diferente valor intrínseco o poder adquisitivo. Por lo tanto, una gran mayoría de estudiosos acertadamente afirman que no hay unidad de género (jins). Además, no son ni pesables ni medibles. Esto lleva a una conclusión directa de que ninguno de los dos elementos de la causa eficiente (illa) de riba existe en dicho intercambio. Por lo tanto, el canje puede tener lugar libre de cualquier prescripción sobre el tipo de cambio y la forma de liquidación. La lógica subyacente a esta posición no es difícil de comprender. El valor intrínseco de las monedas de papel pertenecientes a diferentes países difieren, ya que tienen un poder adquisitivo diferente. Además, el valor intrínseco o el valor de las monedas de papel no puede ser identificado o evaluado a diferencia de oro y plata que puede ser pesado. Por lo tanto, ni la presencia de riba al-fadl (por exceso), ni riba al-nasia (por aplazamiento) puede establecerse. La escuela Shafii de Fiqh considera la causa eficiente (illa) en caso de que el oro y la plata sean su propiedad de ser moneda (thamaniyya) o el medio de intercambio, unidad de cuenta y almacén de valor. Esta es también la vista de Maliki. De acuerdo con una versión de este punto de vista, incluso si el papel o el cuero se convierte en el medio de intercambio y se le da el estatus de moneda, entonces todas las reglas relativas a naqdain, o oro y plata se les aplican. Así, según esta versión, es permisible el intercambio de monedas de diferentes países a una tasa distinta de la unidad, pero debe ser liquidado sobre una base puntual. Otra versión de las dos escuelas de pensamiento anteriores es que la citada causa eficiente (illa) de la moneda (thamaniyya) es específica del oro y la plata, y no puede generalizarse. Es decir, cualquier otro objeto, si se utiliza como medio de intercambio, no puede ser incluido en su categoría. Por lo tanto, según esta versión, los mandamientos de la Sharia para la prohibición riba no son aplicables a las monedas de papel. Las monedas pertenecientes a diferentes países se pueden intercambiar con o sin ganancia y tanto de forma puntual como diferida. Los defensores de la versión anterior citan el caso del intercambio de monedas de papel pertenecientes al mismo país en defensa de su versión. La opinión consensuada de los juristas en este caso es que dicho intercambio debe ser sin ganancia o a una tasa igual a la unidad y debe ser liquidado sobre una base spot. Si se considera la Hanafi y la primera versión de la posición Hanbali, entonces, en este caso, sólo una dimensión de la causa eficiente (illa) está presente, es decir, pertenecen al mismo género (jins ). Pero las monedas de papel no son ni pesables ni mensurables. Por lo tanto, la ley de Hanafi permitiría al parecer el intercambio de cantidades diferentes de la misma moneda sobre una base del punto. Del mismo modo, si la causa eficiente de la moneda (thamaniyya) es específica sólo para el oro y la plata, entonces la ley Shafii y Maliki también permitiría lo mismo. Huelga decir que esto equivale a permitir préstamos y préstamos basados ​​en riba. Esto demuestra que es la primera versión del pensamiento de Shafii y Maliki que subyace a la decisión de consenso de prohibición de ganancia y liquidación diferida en caso de cambio de monedas pertenecientes al mismo país. Según los proponentes, extender esta lógica al intercambio de monedas de diferentes países implicaría que el intercambio con ganancia oa una tasa diferente de la unidad es permisible (ya que no hay unidad de jin), pero la liquidación debe ser sobre una base puntual. 2.1.2 Comparación entre Currency Exchange y Bai-Sarf Bai-sarf se define en la literatura Fiqh como un intercambio que implica el thaman haqiqi, definido como oro y plata, que sirvió como principal medio de intercambio para casi todas las transacciones importantes. Los partidarios de la opinión de que cualquier intercambio de monedas de diferentes países son iguales a los bai-sarf sostienen que en la actualidad las monedas de papel han reemplazado eficaz y completamente el oro y la plata como medio de intercambio. Por lo tanto, por analogía, el intercambio que involucra tales monedas debe ser gobernado por las mismas reglas de Sharia y mandamientos como bai-sarf. También se argumenta que si se permite la liquidación diferida por cualquiera de las partes en el contrato, esto abriría las posibilidades de riba-al nasia. Los opositores de la categorización del intercambio de moneda con bai-sarf sin embargo señalan que el intercambio de todas las formas de la moneda (thaman) no se puede llamar bai-sarf. Según este punto de vista, bai-sarf implica el intercambio de monedas de oro y plata (thaman haqiqi o naqdain) y no de dinero pronunciado como tal por las autoridades estatales (thaman istalahi). Las monedas de la era actual son ejemplos de esta última clase. Estos eruditos encuentran apoyo en aquellos escritos que afirman que si las mercancías de intercambio no son oro o plata, (aunque sea una de ellas es oro o plata) entonces, el intercambio no se puede llamar bai-sarf. Tampoco las estipulaciones relativas al bai-sarf serían aplicables a tales intercambios. Según el Imam Sarakhsi, cuando un individuo compra falsos o monedas hechas de metales inferiores, como el cobre (thaman istalahi) por dirhams (thaman haqiqi) y hace un pago al contado de este último, pero el vendedor no tiene fals en ese momento , Entonces dicho intercambio es permisible. La toma de posesión de mercancías intercambiadas por ambas partes no es una condición previa (mientras que en el caso de bai-sarf, lo es). Existen varias referencias similares que indican que los juristas no clasifican un intercambio de fals (thaman istalahi) por otro fals Thaman istalahi) o oro o plata (thaman haqiqi), como bai-sarf. Por lo tanto, los intercambios de monedas de dos países diferentes que sólo pueden calificar como thaman istalahi no pueden ser clasificados como bai-sarf. Tampoco puede imponerse la restricción relativa a la liquidación al contado de tales transacciones. Cabe señalar aquí que la definición de bai-sarf se proporciona Fiqh literatura y no hay mención de lo mismo en las tradiciones santas. Las tradiciones mencionan la riba, y la venta y compra de oro y plata (naqdain), que puede ser una fuente importante de riba, es descrita como bai-sarf por los juristas islámicos. También hay que señalar que en la literatura Fiqh, bai-sarf implica el intercambio de oro o plata sólo si se están utilizando actualmente como medio de intercambio o no. Intercambio de dinares y adornos de oro, tanto de calidad como bai-sarf. Varios juristas han tratado de aclarar este punto y han definido el sarf como aquel intercambio en el cual ambas mercancías intercambiadas están en la naturaleza de thaman, no necesariamente thaman ellos mismos. Por lo tanto, incluso cuando una de las mercancías se procesa oro (digamos, adornos), ese intercambio se llama bai-sarf. Los defensores de la opinión de que el cambio de divisas debe ser tratado de una manera similar a bai-sarf también derivan el apoyo de escritos de eminentes juristas islámicos. Según el Imam Ibn Taimiya, cualquier cosa que desempeñe las funciones de medio de intercambio, unidad de cuenta y almacenamiento de valor se llama thaman, (no necesariamente limitada a oro y plata). Referencias similares están disponibles en los escritos del Imam Ghazzali5. En cuanto a las opiniones del Imam Sarakhshi sobre el intercambio de fals, según ellos, hay que tener en cuenta algunos puntos adicionales. En los primeros días del Islam, los dinares y dirhams hechos de oro y plata se usaban principalmente como medio de intercambio en todas las transacciones importantes. Sólo los menores se asentaron con fals. En otras palabras, fals no poseía las características de dinero o thamaniyya en su totalidad y apenas se usaba como almacén de valor o unidad de cuenta y era más en la naturaleza de la mercancía. Por lo tanto no hubo restricción en la compra de la misma para el oro y la plata sobre una base aplazada. Las monedas actuales tienen todas las características de thaman y están destinadas a ser sólo thaman. El intercambio con monedas de diferentes países es el mismo que bai-sarf con diferencia de jins y por lo tanto, el establecimiento diferido llevaría a riba al-nasia. El Dr. Mohamed Nejatullah Siddiqui ilustra esta posibilidad con un ejemplo6. Escribe en un momento dado cuando la tasa de cambio del mercado entre dólar y rupia es de 1:20, si un individuo compra 50 a la tasa de 1:22 (liquidación de su obligación en rupias aplazada a una fecha futura), entonces Es muy probable que lo sea. De hecho, el endeudamiento Rs. 1000 ahora en lugar de una promesa de reembolsar Rs. 1100 en una fecha posterior especificada. (Puesto que, él puede obtener Rs 1000 ahora, intercambiando los 50 comprados en el crédito en la tarifa al contado). Por lo tanto, sarf se puede convertir en préstamo prestado del préstamo de interés-basado. 2.1.3 Definir Thamaniyya es la clave De la síntesis anterior de puntos de vista alternativos parece que la cuestión clave parece ser una definición correcta de thamaniyya. Por ejemplo, una cuestión fundamental que lleva a posiciones divergentes sobre la permisibilidad se refiere a si el thamaniyya es específico del oro y la plata, o puede asociarse con cualquier cosa que desempeñe las funciones del dinero. A continuación se plantean algunas cuestiones que pueden tenerse en cuenta en cualquier ejercicio de reconsideración de posiciones alternativas. Debe apreciarse que el thamaniyya puede no ser absoluto y puede variar en grados. Es cierto que las monedas de papel han reemplazado completamente el oro y la plata como medio de intercambio, unidad de cuenta y almacén de valor. En este sentido, las monedas de papel se puede decir que poseen thamaniyya. Sin embargo, esto es cierto sólo para las monedas nacionales y puede no ser cierto para las monedas extranjeras. En otras palabras, las rupias indias poseen thamaniyya dentro de los límites geográficos de la India solamente, y no tienen ninguna aceptabilidad en los Estados Unidos. Estos no se puede decir que poseen thamaniyya en EE. UU. a menos que un ciudadano de EE. UU. puede utilizar rupias indias como un medio de intercambio, o unidad de cuenta, o almacén de valor. En la mayoría de los casos tal posibilidad es remota. Esta posibilidad es también una función del mecanismo de tipo de cambio vigente, como la convertibilidad de las rupias indias en dólares estadounidenses y si existe un sistema de tipo de cambio fijo o flotante. Por ejemplo, asumiendo la convertibilidad libre de rupias indias en dólares estadounidenses y viceversa, y un sistema de tipo de cambio fijo en el que no se espera que el tipo de cambio rupia-dólar aumente o disminuya en el futuro previsible, se mejora considerablemente la tasa de rupias en Estados Unidos . El ejemplo citado por el Dr. Nejatullah Siddiqui también parece bastante sólido en las circunstancias. El permiso para canjear rupias por dólares en base diferida (desde un extremo, por supuesto) a una tasa diferente del tipo al contado (tasa oficial que es probable que permanezca fijo hasta la fecha de liquidación) sería un claro caso de interés basado en Préstamos y préstamos. Sin embargo, si se supone que el supuesto de tipo de cambio fijo es relajado y se asume que el actual sistema de tipos de cambio fluctuantes y volátiles es el caso, entonces se puede demostrar que el caso de riba al-nasia se rompe. Reescribimos su ejemplo: En un momento dado en que la tasa de cambio del mercado entre el dólar y la rupia es 1:20, si un individuo compra 50 a la tasa de 1:22 (liquidación de su obligación en rupias aplazada a una fecha futura ), Entonces es muy probable que lo sea. De hecho, el endeudamiento Rs. 1000 ahora en lugar de una promesa de reembolsar Rs. 1100 en una fecha posterior especificada. (Puesto que, ahora puede obtener Rs 1000, intercambiando los 50 adquiridos a crédito al tipo de cambio al contado). Esto sería así, sólo si el riesgo cambiario es inexistente (el tipo de cambio permanece a 1:20), o es asumido por el vendedor De dólares (el comprador paga en rupias y no en dólares). Si el primero es cierto, entonces el vendedor de los dólares (prestamista) recibe un rendimiento predeterminado de diez por ciento cuando convierte Rs1100 recibido en la fecha de vencimiento en 55 (a un tipo de cambio de 1:20). Sin embargo, si esto último es cierto, entonces el retorno al vendedor (o al prestamista) no está predeterminado. Ni siquiera es positivo. Por ejemplo, si el tipo de cambio rupia-dólar aumenta a 1:25, entonces el vendedor de dólar recibiría sólo 44 (Rs 1100 convertido en dólares) por su inversión de 50. Aquí dos puntos son dignos de mención. En primer lugar, cuando se asume un régimen de tipo de cambio fijo, la distinción entre monedas de diferentes países se diluye. La situación se vuelve similar al intercambio de libras esterlinas (monedas pertenecientes al mismo país) a una tasa fija. En segundo lugar, cuando se asume un sistema de tipo de cambio volátil, entonces, tal como se puede visualizar el préstamo a través del mercado de divisas (mecanismo sugerido en el ejemplo anterior), también se puede visualizar el préstamo a través de cualquier otro mercado organizado (por ejemplo, . En el momento en que el precio de mercado de la acción X es Rs 20, si un individuo compra 50 acciones a razón de Rs 22 (liquidación de Su obligación en rupias aplazada a una fecha futura), entonces es muy probable que lo sea. De hecho, el endeudamiento Rs. 1000 ahora en lugar de una promesa de reembolsar Rs. 1100 en una fecha posterior especificada. En este caso también como en el ejemplo anterior, las devoluciones al vendedor de las acciones pueden ser negativas si el precio de las acciones se eleva a Rs 25 en la liquidación fecha. Por lo tanto, al igual que los rendimientos en el mercado de valores o de materias primas son islámicamente aceptables debido al riesgo de precio, también lo son los rendimientos en el mercado de divisas debido a las fluctuaciones en los precios de las monedas. Una característica única de thaman haqiqi o oro y plata es que el valor intrínseco de la moneda es igual a su valor nominal. Por lo tanto, la cuestión de los diferentes límites geográficos dentro de los cuales circula una moneda determinada, como dinar o dirham, es completamente irrelevante. El oro es oro, ya sea en el país A o en el país B. Así, cuando la divisa del país A de oro se cambia por moneda del país B, también hecha de oro, entonces cualquier desviación del tipo de cambio de la unidad o diferimiento de liquidación por cualquiera de las partes No puede ser permitido ya que implicaría claramente riba al-fadl y también riba al-nasia. Sin embargo, cuando las monedas de papel del país A se intercambian por el papel moneda del país B, el caso puede ser completamente diferente. El riesgo de precio (riesgo de tipo de cambio), si es positivo, eliminaría cualquier posibilidad de riba al-nasia en el canje con liquidación diferida. Sin embargo, si el riesgo de precio (riesgo de tipo de cambio) es cero, dicho intercambio podría ser una fuente de riba al-nasia si se permite la liquidación diferida7. Otro punto que merece una seria consideración es la posibilidad de que ciertas monedas puedan poseer thamaniyya, es decir, utilizado como medio de intercambio, unidad de cuenta o almacén de valor a nivel mundial, tanto dentro como fuera del país. Por ejemplo, el dólar estadounidense es moneda de curso legal dentro de los EE. UU. también es aceptable como medio de intercambio o unidad de cuenta para un gran volumen de transacciones en todo el mundo. Por lo tanto, se puede decir que esta moneda específica posee thamaniyya a nivel mundial, en cuyo caso, los juristas pueden imponer los mandatos pertinentes sobre los intercambios que implican esta moneda específica para prevenir riba al-nasia. El hecho es que cuando una moneda posee thamaniyya globalmente, las unidades económicas que utilizan esta moneda global como medio de cambio, unidad de cuenta o almacén de valor pueden no estar preocupadas por el riesgo derivado de la volatilidad de los tipos de cambio entre países. Al mismo tiempo, debe reconocerse que una gran mayoría de las monedas no desempeñan las funciones de dinero, excepto dentro de sus fronteras nacionales cuando éstas son moneda de curso legal. Riba y el riesgo no pueden coexistir en el mismo contrato. El primero conoce una posibilidad de rendimientos con riesgo cero y no puede ganarse a través de un mercado con riesgo de precio positivo. Como se ha discutido anteriormente, la posibilidad de riba al-fadl o riba al-nasia puede surgir a cambio cuando el oro o la plata funcionan como thaman o cuando el intercambio implica monedas de papel pertenecientes al mismo país o cuando el intercambio implica monedas de diferentes países Siguiendo un sistema de tipo de cambio fijo. La última posibilidad es tal vez unísmica8, ya que se debe permitir que el precio o el tipo de cambio de las monedas fluctúen libremente en línea con los cambios en la demanda y la oferta y también porque los precios deben reflejar el valor intrínseco o el poder adquisitivo de las monedas. Los mercados de divisas de hoy se caracterizan por tipos de cambio volátiles. Las ganancias o pérdidas realizadas en cualquier transacción en monedas de diferentes países, se justifican por el riesgo asumido por las partes en el contrato. 2.1.4. Posibilidad de Riba con futuros y forwards Hasta ahora, hemos discutido puntos de vista sobre la permisibilidad de bai salam en divisas, es decir, cuando la obligación de sólo una de las partes en el intercambio se aplazó. ¿Cuáles son las opiniones de los académicos sobre el aplazamiento de las obligaciones de ambas partes. Un ejemplo típico de tales contratos son forwards y futuros9. Según una gran mayoría de estudiosos, esto no es permisible por diversos motivos, siendo el más importante el elemento de riesgo e incertidumbre (gharar) y la posibilidad de especulación de una clase que no es permisible. Esto se discute en la sección 3. Sin embargo, otro motivo para rechazar tales contratos puede ser riba prohibición. En el párrafo anterior hemos discutido que bai salam en monedas con tipos de cambio fluctuantes no puede ser utilizado para ganar riba debido a la presencia de riesgo de moneda. Es posible demostrar que el riesgo de divisa puede ser cubierto o reducido a cero con otro contrato a término negociado simultáneamente. Y una vez que se elimine el riesgo, la ganancia sería claramente riba. Modificamos y reescribimos el mismo ejemplo: En un momento dado en que la tasa de cambio del mercado entre dólar y rupia es de 1:20, una persona compra 50 a la tasa de 1:22 (liquidación de su obligación en rupias aplazada a una Fecha futura), y el vendedor de dólares también cubre su posición mediante la celebración de un contrato a término para vender Rs1100 a recibir en la fecha futura a una tasa de 1:20, entonces es muy probable que lo sea. De hecho, el endeudamiento Rs. 1000 ahora en lugar de una promesa de reembolsar Rs. 1100 en una fecha posterior especificada. El vendedor de los dólares (prestamista) recibe un rendimiento predeterminado de diez por ciento cuando convierte Rs1100 recibidos en la fecha de vencimiento en 55 dólares (al Un tipo de cambio de 1:20) para su inversión de 50 dólares, independientemente del tipo de cambio de mercado vigente en la fecha de vencimiento. Another simple possible way to earn riba may even involve a spot transaction and a simultaneous forward transaction. For example, the individual in the above example purchases 50 on a spot basis at the rate of 1:20 and simultaneously enters into a forward contract with the same party to sell 50 at the rate of 1:21 after one month. In effect this implies that he is lending Rs1000 now to the seller of dollars for one month and earns an interest of Rs50 (he receives Rs1050 after one month. This is a typical buy-back or repo (repurchase) transaction so common in conventional banking.10 3. The Issue of Freedom from Gharar 3.1 Defining Gharar Gharar, unlike riba, does not have a consensus definition. In broad terms, it connotes risk and uncertainty. It is useful to view gharar as a continuum of risk and uncertainty wherein the extreme point of zero risk is the only point that is well-defined. Beyond this point, gharar becomes a variable and the gharar involved in a real life contract would lie somewhere on this continuum. Beyond a point on this continuum, risk and uncertainty or gharar becomes unacceptable11. Jurists have attempted to identify such situations involving forbidden gharar. A major factor that contributes to gharar is inadequate information (jahl) which increases uncertainty. This is when the terms of exchange, such as, price, objects of exchange, time of settlement etc. are not well-defined. Gharar is also defined in terms of settlement risk or the uncertainty surrounding delivery of the exchanged articles. Islamic scholars have identified the conditions which make a contract uncertain to the extent that it is forbidden. Each party to the contract must be clear as to the quantity, specification, price, time, and place of delivery of the contract. A contract, say, to sell fish in the river involves uncertainty about the subject of exchange, about its delivery, and hence, not Islamically permissible. The need to eliminate any element of uncertainty inherent in a contract is underscored by a number of traditions.12 An outcome of excessive gharar or uncertainty is that it leads to the possibility of speculation of a variety which is forbidden. Speculation in its worst form, is gambling. The holy Quran and the traditions of the holy prophet explicitly prohibit gains made from games of chance which involve unearned income. The term used for gambling is maisir which literally means getting something too easily, getting a profit without working for it. Apart from pure games of chance, the holy prophet also forbade actions which generated unearned incomes without much productive efforts.13 Here it may be noted that the term speculation has different connotations. It always involves an attempt to predict the future outcome of an event. But the process may or may not be backed by collection, analysis and interpretation of relevant information. The former case is very much in conformity with Islamic rationality. An Islamic economic unit is required to assume risk after making a proper assessment of risk with the help of information. All business decisions involve speculation in this sense. It is only in the absence of information or under conditions of excessive gharar or uncertainty that speculation is akin to a game of chance and is reprehensible. 3.2 Gharar amp Speculation with of Futures amp Forwards Considering the case of the basic exchange contracts highlighted in section 1, it may be noted that the third type of contract where settlement by both the parties is deferred to a future date is forbidden, according to a large majority of jurists on grounds of excessive gharar. Futures and forwards in currencies are examples of such contracts under which two parties become obliged to exchange currencies of two different countries at a known rate at the end of a known time period. For example, individuals A and B commit to exchange US dollars and Indian rupees at the rate of 1: 22 after one month. If the amount involved is 50 and A is the buyer of dollars then, the obligations of A and B are to make a payments of Rs1100 and 50 respectively at the end of one month. The contract is settled when both the parties honour their obligations on the future date. Traditionally, an overwhelming majority of Sharia scholars have disapproved such contracts on several grounds. The prohibition applies to all such contracts where the obligations of both parties are deferred to a future date, including contracts involving exchange of currencies. An important objection is that such a contract involves sale of a non-existent object or of an object not in the possession of the seller. This objection is based on several traditions of the holy prophet.14 There is difference of opinion on whether the prohibition in the said traditions apply to foodstuffs, or perishable commodities or to all objects of sale. There is, however, a general agreement on the view that the efficient cause (illa) of the prohibition of sale of an object which the seller does not own or of sale prior to taking possession is gharar, or the possible failure to deliver the goods purchased. Is this efficient cause (illa) present in an exchange involving future contracts in currencies of different countries. In a market with full and free convertibility or no constraints on the supply of currencies, the probability of failure to deliver the same on the maturity date should be no cause for concern. Further, the standardized nature of futures contracts and transparent operating procedures on the organized futures markets15 is believed to minimize this probability. Some recent scholars have opined in the light of the above that futures, in general, should be permissible. According to them, the efficient cause (illa), that is, the probability of failure to deliver was quite relevant in a simple, primitive and unorganized market. It is no longer relevant in the organized futures markets of today16. Such contention, however, continues to be rejected by the majority of scholars. They underscore the fact that futures contracts almost never involve delivery by both parties. On the contrary, parties to the contract reverse the transaction and the contract is settled in price difference only. For example, in the above example, if the currency exchange rate changes to 1: 23 on the maturity date, the reverse transaction for individual A would mean selling 50 at the rate of 1:23 to individual B. This would imply A making a gain of Rs50 (the difference between Rs1150 and Rs1100). This is exactly what B would lose. It may so happen that the exchange rate would change to 1:21 in which case A would lose Rs50 which is what B would gain. This obviously is a zero-sum game in which the gain of one party is exactly equal to the loss of the other. This possibility of gains or losses (which theoretically can touch infinity) encourages economic units to speculate on the future direction of exchange rates. Since exchange rates fluctuate randomly, gains and losses are random too and the game is reduced to a game of chance. There is a vast body of literature on the forecastability of exchange rates and a large majority of empirical studies have provided supporting evidence on the futility of any attempt to make short-run predictions. Exchange rates are volatile and remain unpredictable at least for the large majority of market participants. Needless to say, any attempt to speculate in the hope of the theoretically infinite gains is, in all likelihood, a game of chance for such participants. While the gains, if they materialize, are in the nature of maisir or unearned gains, the possibility of equally massive losses do indicate a possibility of default by the loser and hence, gharar. 3.3. Risk Management in Volatile Markets Hedging or risk reduction adds to planning and managerial efficiency. The economic justification of futures and forwards is in term of their role as a device for hedging. In the context of currency markets which are characterized by volatile rates, such contracts are believed to enable the parties to transfer and eliminate risk arising out of such fluctuations. For example, modifying the earlier example, assume that individual A is an exporter from India to US who has already sold some commodities to B, the US importer and anticipates a cashflow of 50 (which at the current market rate of 1:22 mean Rs 1100 to him) after one month. There is a possibility that US dollar may depreciate against Indian rupee during these one month, in which case A would realize less amount of rupees for his 50 ( if the new rate is 1:21, A would realize only Rs1050 ). Hence, A may enter into a forward or future contract to sell 50 at the rate of 1:21.5 at the end of one month (and thereby, realize Rs1075) with any counterparty which, in all probability, would have diametrically opposite expectations regarding future direction of exchange rates. In this case, A is able to hedge his position and at the same time, forgoes the opportunity of making a gain if his expectations do not materialize and US dollar appreciates against Indian rupee (say, to 1:23 which implies that he would have realized Rs1150, and not Rs1075 which he would realize now.) While hedging tools always improve planning and hence, performance, it should be noted that the intention of the contracting party - whether to hedge or to speculate, can never be ascertained. It may be noted that hedging can also be accomplished with bai salam in currencies. As in the above example, exporter A anticipating a cash inflow of 50 after one month and expecting a depreciation of dollar may go for a salam sale of 50 (with his obligation to pay 50 deferred by one month.) Since he is expecting a dollar depreciation, he may agree to sell 50 at the rate of 1: 21.5. There would be an immediate cash inflow in Rs 1075 for him. The question may be, why should the counterparty pay him rupees now in lieu of a promise to be repaid in dollars after one month. As in the case of futures, the counterparty would do so for profit, if its expectations are diametrically opposite, that is, it expects dollar to appreciate. For example, if dollar appreciates to 1: 23 during the one month period, then it would receive Rs1150 for Rs 1075 it invested in the purchase of 50. Thus, while A is able to hedge its position, the counterparty is able to earn a profit on trading of currencies. The difference from the earlier scenario is that the counterparty would be more restrained in trading because of the investment required, and such trading is unlikely to take the shape of rampant speculation. 4. Summary amp Conclusion Currency markets of today are characterized by volatile exchange rates. This fact should be taken note of in any analysis of the three basic types of contracts in which the basis of distinction is the possibility of deferment of obligations to future. We have attempted an assessment of these forms of contracting in terms of the overwhelming need to eliminate any possibility of riba, minimize gharar, jahl and the possibility of speculation of a kind akin to games of chance. In a volatile market, the participants are exposed to currency risk and Islamic rationality requires that such risk should be minimized in the interest of efficiency if not reduced to zero. It is obvious that spot settlement of the obligations of both parties would completely prohibit riba, and gharar, and minimize the possibility of speculation. However, this would also imply the absence of any technique of risk management and may involve some practical problems for the participants. At the other extreme, if the obligations of both the parties are deferred to a future date, then such contracting, in all likelihood, would open up the possibility of infinite unearned gains and losses from what may be rightly termed for the majority of participants as games of chance. Of course, these would also enable the participants to manage risk through complete risk transfer to others and reduce risk to zero. It is this possibility of risk reduction to zero which may enable a participant to earn riba. Future is not a new form of contract. Rather the justification for proscribing it is new. If in a simple primitive economy, it was prevention of gharar relating to delivery of the exchanged article, in todays complex financial system and organized exchanges, it is prevention of speculation of kind which is unIslamic and which is possible under excessive gharar involved in forecasting highly volatile exchange rates. Such speculation is not just a possibility, but a reality. The precise motive of an economic unit entering into a future contract - speculation or hedging may not ascertainable ( regulators may monitor end use, but such regulation may not be very practical, nor effective in a free market). Empirical evidence at a macro level, however, indicates the former to be the dominant motive. The second type of contracting with deferment of obligations of one of the parties to a future date falls between the two extremes. While Sharia scholars have divergent views about its permissibility, our analysis reveals that there is no possibility of earning riba with this kind of contracting. The requirement of spot settlement of obligations of atleast one party imposes a natural curb on speculation, though the room for speculation is greater than under the first form of contracting. The requirement amounts to imposition of a hundred percent margin which, in all probability, would drive away the uninformed speculator from the market. This should force the speculator to be a little more sure of his expectations by being more informed. When speculation is based on information it is not only permissible, but desirable too. Bai salam would also enable the participants to manage risk. At the same time, the requirement of settlement from one end would dampen the tendency of many participants to seek a complete transfer of perceived risk and encourage them to make a realistic assessment of the actual risk. Notes amp References 1. These diverse views are reflected in the papers presented at the Fourth Fiqh Seminar organized by the Islamic Fiqh Academy, India in 1991 which were subsequently published in Majalla Fiqh Islami, part 4 by the Academy. The discussion on riba prohibition draws on these views. 2. Nabil Saleh, Unlawful gain and Legitimate Profit in Islamic Law, Graham and Trotman, London, 1992, p.16 3. Ibn Qudama, al-Mughni, vol.4, pp.5-9 4. Shams al Din al Sarakhsi, al-Mabsut, vol 14, pp 24-25 5. Paper presented by Abdul Azim Islahi at the Fourth Fiqh Seminar organized by Islamic Fiqh Academy, India in 1991. 6. Paper by Dr M N Siddiqui highlighting the issue was circulated among all leading Fiqh scholars by the Islamic Fiqh Academy, India for their views and was the main theme of deliberations during the session on Currency Exchange at the Fourth Fiqh Seminar held in 1991. 7. It is contended by some that the above example may be modified to show the possibility of riba with spot settlement too. In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1:20, if an individual purchases 50 at the rate of 1:22 (settlement of his obligation also on a spot basis), then it amounts to the seller of dollars exchanging 50 with 55 on a spot basis (Since, he can obtain Rs 1100 now, exchange them for 55 at spot rate of 1:20) Thus, spot settlement can also be a clear source of riba. Does this imply that spot settlement should be proscribed too. The fallacy in the above and earlier examples is that there is no single contract but multiple contracts of exchange occurring at different points in time (true even in the above case). Riba can be earned only when the spot rate of 1:20 is fixed during the time interval between the transactions. This assumption is, needless to say, unrealistic and if imposed artificially, perhaps unIslamic. 8. Islam envisages a free market where prices are determined by forces of demand and supply. There should be no interference in the price formation process even by the regulators. While price control and fixation is generally accepted as unIslamic, some scholars, such as, Ibn Taimiya do admit of its permissibility. However, such permissibility is subject to the condition that price fixation is intended to combat cases of market anomalies caused by impairing the conditions of free competition. If market conditions are normal, forces of demand and supply should be allowed a free play in determination of prices. 9. Some Islamic scholars use the term forward to connote a salam sale. However, we use this term in the conventional sense where the obligations of both parties are deferred to a future date and hence, are similar to futures in this sense. The latter however, are standardized contracts and are traded on an organized Futures Exchange while the former are specific to the requirements of the buyer and seller. 10. This is known as bai al inah which is considered forbidden by almost all scholars with the exception of Imam Shafii. Followers of the same school, such as Al Nawawi do not consider it Islamically permissible. 11. It should be noted that modern finance theories also distinguish between conditions of risk and uncertainty and assert that rational decision making is possible only under conditions of risk and not under conditions of uncertainty. Conditions of risk refer to a situation where it is possible with the help of available data to estimate all possible outcomes and their corresponding probabilities, or develop the ex-ante probability distribution. Under conditions of uncertainty, no such exercise is possible. The definition of gharar, Real-life situations, of course, fall somewhere in the continuum of risk and uncertainty. 12. The following traditions underscore the need to avoid contracts involving uncertainty. Ibn Abbas reported that when Allahs prophet (pbuh) came to Medina, they were paying one and two years advance for fruits, so he said: Those who pay in advance for any thing must do so for a specified weight and for a definite time. It is reported on the authority of Ibn Umar that the Messenger of Allah (pbuh) forbade the transaction called habal al-habala whereby a man bought a she-camel which was to be the off-spring of a she-camel and which was still in its mothers womb. 13. According to a tradition reported by Abu Huraira, Allahs Messenger (pbuh) forbade a transaction determined by throwing stones, and the type which involves some uncertainty. The form of gambling most popular to Arabs was gambling by casting lots by means of arrows, on the principle of lottery, for division of carcass of slaughtered animals. The carcass was divided into unequal parts and marked arrows were drawn from a bag. One received a large or small share depending on the mark on the arrow drawn. Obviously it was a pure game of chance. 14. The holy prophet is reported to have said Do not sell what is not with you Ibn Abbas reported that the prophet said: He who buys foodstuff should not sell it until he has taken possession of it. Ibn Abbas said: I think it applies to all other things as well. 15. The Futures Exchange performs an important function of providing a guarantee for delivery by all parties to the contract. It serves as the counterparty in the exchange for both, that is, as the buyer for the sale and as the seller for the purchase. 16. M Hashim Kamali Islamic Commercial Law: An Analysis of Futures, The American Journal of Islamic Social Sciences, vol.13, no.2, 1996 Send Your Comments to: Dr Mohammed Obaidullah, Xavier Institute of Management, Bhubaneswar 751 013, IndiaFatwa MUI Tentang Jual Beli Mata Uang (AL-SHARF) Pertanyaan yang pasti ditanyakan oleh setiap trader di Indonesia. 1. Apakah Trading Forex Haram 2. Apakah Trading Forex Halal 3. Apakah Comercio Forex diperbolehkan dalam Agama Islam 4. Apakah SWAP itu Mari kita bahas dengan artikel yang pertama. Forex Dalam Hukum Islam Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhan / komoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan pena de permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGANO NILAI MATA UANG antar negara. Perbandingan nilai mata uang antar negara terkumpul dalam suatu BURSA atau PASAR yang bersifat internasional dan terikat dalam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu negara dengan negara lainnya ini berubah (berluktuasi) setiap saat sesuai volumen permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan dan penawil inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang secara nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai. HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS 1. Ada Ijab-Qobul. --- gt Ada perjanjian untuk memberi dan menerima El peny del menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai. Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan. Pe mbeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan tindakantindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat) 2. Memenuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli yaitu: Suci barangnya (bukan najis) Dapat dimanfaatkan Dapat diserahterima kan Jelas barang dan harganya Dijual (dibeli) Pemiliknya sendiri atau kuasanya atas izin pemiliknya Barang sudah berada diceangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan. Perlu ditambahkan pendapat Muhammad Isa, bahwa jual beli salam itu diperbolehkan dalam agama. Jangan kamu membeli ikan dalam el aire, karena sesungguhnya jual beli yang demikian itu mengandung penipuan. (Hadis Ahmad bin Hambal dan Al Baihaqi dari Ibnu Masud) Jual beli barang yang tidak di tempat transaksi diperbolehkan dengan syarat harus diterangkán sifatsifatnya atau ciri-cirinya. Kemudiano jika barang sesuai dengan keterangán penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunya hak khiyar, artinya boleh meneruskán atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah: Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya. Jual beli hasil tanam yang masih terpendam, seperti ketela, kentang, bawang dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena akan mengalami kesulitan atau kerugian jika harus mengeluarkan semu hasil tanaman yang terpendam untuk dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam: Kesulitan itu menarik kemudahan. Demikian juga jual beli barang-barang yang telah terbungkus / tertutup, seperti makanan kalengan, LPG, sebagainya dan, asalkam diberi etiqueta yang menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. Cit. Hal 135. Mengenai teks kaidah hukum Islam tersebut di atas, vide Al Suyuthi, Al-Asbah al-Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55. JUAL BELI VALUTA QUE ASA DAN SAHAM Yang dimaksud dengan el valor adalah mata uang luar negeri seperi dolar Amerika, libra esterlina Inggris, ringgit Malasia dan sebagainya. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional maka tiap negara membutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar negeri yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya eksportir Indonesia akan memperoleh idee dari hasil ekspornya, sebaliknya importir Indonesia memerlukan devisa untuk mengimpor dari luar negeri. Dengan demikian akan timbul península perminataan di bursa valuta asing. Setiap, negara, berwenang, penuh, menetapkan, kurs, ugna, masing-masing (kurs adalah, perbandingan, nilai, uangnya, terhadap, mata uang asing) Misalnya 1 dolar Amerika Rp. 12.000. Namun kurs uang atau perbandingan nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah, tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing. Pencatatan kurs uang dan transaksi jual beli valuta asing diselenggarakan de Bursa Valuta Asing (AWJ Tupanno, et al., Ekonomi dan Koperasi, Yakarta, Depdikbud 1982, hal 76-77) FATWA MUI TENTANG PERDAGANGAN VALAS Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 28 / DSN-MUI / III / 2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf) a. Bahwa dalam sejumlah kegiatan untuk memenuhi berbagai keperluan, seringkali diperlukan transaksi jual-beli mata uang (al-sharf), baik antar mata uang sejenis malpun antar mata uang berlainan jenis. segundo. Bahwa dalam urf tijari (tradición perdagangan) transaksi jual beli mata uang dikenal beberapa bentuk transaksi yang estado hukumnya dalam pandangan ajaran islam berbeda antara satu bentuk dengan bentuk lain. do. Bahwa agar kegiatan transaksi tersebut, dilakukan, sesuai, dengan, ajaran, islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang al-Sharf untuk dijadikan pedoman. 1. Firman Allah, QS. Al-Baqarah2: 275:. Dan Allah (en español) tela tela tela tela................ 2. Hadis nabi riwayat al-Baihaqi dan ibnu Majah dari Abu Said al-Khudri: Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak) (Albaidah de Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban). 3. Hadis Nabi Riwayat Musulmán, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibn Majah, dengan teks musulmanes dari Ubadah bin Shamit, Nabi vio bersabda: (Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma Dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. 4. Hadis Nabi riwayat musulmanes, Tirmidzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dari Umar bin Khattab, Nabi vio bersabda: (Jual-beli) emas dengan perak adalah Riba kecuali (dilakukan) secara tunai. 5. Hadis Nabi riwayat musulmán dari Abu Said al-Khudri, Nabi vio bersabda: Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagiano atas sebagian yang lain janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagaian Atas sebagian yang lain dan janganlah menjual emas perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai. 6. Hadis Nabi riwayat musulmanes dari Bara bin Azib dan Zaid bin Arqam. Rasulullah vio melarang menjual perak dengan emas secara piutang (tidak tunai). 7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi de Amr bin Auf: Perjanjian dapat dilakukan de antara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum muslim terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. 8. Ijma. Ulama sepakat (ijma) bahwa akad al-sharf disyariatkan dengan syarat-syarat tertentu 1. Surat dari pimpinah Unidad Usaha Syariah Banco BNI no. UUS / 2/878 2. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional pada Hari Kamis, tanggal 14 Muharram 1423H / 28 Mar. 2002. Dewan Syariah Nasional Menetapkan. FATWA TENTANG JUAL BELÍ MATA UANG (AL-SHARF). Pertama. Ketentuan Umum Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengue ketentuan sebagai berikut: 1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan). 2. Ada kebutuhan transakta atau untuk berjaga-jaga (simpanan). 3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama en secara tunai (at-taqabudh). 4. Apabila berlainan jenis maka, harus, dilakukan, dengan, nilai, tukar (kurs), yang, berlaku, pata, sa, transaksi, secara, tunai. Kedua. Jenis-jenis transaksi Valuación Asing 1. Transaksi SPOT, yayu transaksi pembélian dan penjualan valuta asing untuk penyeraan pada saat itu (sobre el mostrador) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi internasional. 2. Transaksi HACIA ADELANTE, el transaksi pembelian de los yanuts de los penjualan del yang de los yang de los yang del nilainya del danta de la nube del ditetapkan del pata de la soda de la mariposa del antara 2x24 del diberlakukan y del diberlakukan de la novedad. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwaadah) dan penyerahannya dilakukan de kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk adelante acuerdo untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil Hajah) 3. Transaksi SWAP yetu suatu kontrak pembeliano atau penjualan valas dengan harga punto yang dikombinasikan dengan pembélian antara penjualan valas yang sama dengan harga adelante. Hukumnya haram, karena mengandung unsur másir (spekulasi). 4. Transaksi OPCION YAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA Hukumnya haram, karena mengandung unsur másir (spekulasi). Ketiga. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengue ketentuan jika de kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di. Jakarta Tanggal. 14 Muharram 1423 H / 28 Maret 2002 M DEWAN SYARIAH NASIONAL - MAJELIS ULAMA INDONESIA


No comments:

Post a Comment